Fried Tarantula, Camilan Renyah dari Kamboja yang Menyimpan Kisah Ketangguhan

relaxmody.com – Bayangkan menggigit camilan renyah yang berbentuk seperti laba-laba raksasa—lengkap dengan kaki-kaki panjang dan tubuh berbulu. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar seperti mimpi buruk, tapi di Kamboja, fried tarantula atau “a-ping” goreng adalah hidangan khas yang tak hanya lezat, tapi juga sarat makna sejarah. Hidangan ini telah menjadi simbol ketangguhan rakyat Kamboja, lahir dari masa kelaparan mengerikan di era Khmer Rouge, dan kini menjadi atraksi kuliner bagi turis petualang. Dengan rasa yang mirip daging kepiting lunak dan tekstur krispi seperti soft-shell crab, fried tarantula menawarkan petualangan rasa yang unik. Pada 2025, dengan tren entomophagy (makan serangga) yang semakin populer sebagai sumber protein berkelanjutan, hidangan ini kembali mencuri perhatian global. Mari kita telusuri fakta menarik, sejarah, cara memasak, hingga manfaatnya—siapa tahu, Anda tergoda untuk mencobanya saat traveling ke Asia Tenggara!

Sejarah: Dari Makanan Darurat Menjadi Delikates Modern

Fried tarantula bukanlah hidangan kuno yang dirayakan sejak ribuan tahun lalu, melainkan inovasi darurat yang lahir dari tragedi. Pada akhir abad ke-19, rakyat Kamboja sudah mengenal tarantula sebagai obat tradisional—rambutnya dipercaya bisa “menangkap kuman pilek” di tahun 1950-an. Namun, popularitasnya meledak selama rezim Khmer Rouge (1975–1979), ketika hampir seperempat populasi Kamboja tewas akibat kekerasan, kerja paksa, dan kelaparan parah. Di hutan-hutan terpencil, tarantula yang melimpah menjadi penyelamat nyawa: mudah ditangkap, aman dimakan, dan kaya nutrisi. Proses dari menangkap hingga menggoreng hanya butuh 10 menit, membuatnya jadi makanan cepat saji bagi para penyintas.

Kini, fried tarantula telah berevolusi menjadi camilan premium. Di kota Skuon (75 km utara Phnom Penh), yang dijuluki “Spider Town”, penjual jalanan menawarkan ratusan ekor sehari, dengan harga murah 10–20 sen per ekor (sekitar Rp 1.500–3.000). Meski demikian, deforestasi telah mengurangi populasi liarnya sejak 1990-an, membuatnya semakin langka dan mahal di kota besar seperti Phnom Penh. Di luar Kamboja, hidangan serupa muncul di Meksiko (dalam taco dengan guacamole, meski ilegal untuk beberapa spesies) dan Thailand, tapi Kamboja tetap pusatnya.

Jenis Tarantula yang Digunakan: Bukan Sembarang Laba-Laba

Spesies utama adalah Haplopelma albostriatum, atau Thailand zebra leg tarantula—laba-laba berukuran telapak tangan dengan kaki bergaris hitam-putih, yang sudah dikenal sebagai “edible spider” selama lebih dari seratus tahun. Tarantula ini hidup di sarang tanah di hutan atau desa utara Skuon, dan ditangkap dengan tangan telanjang oleh pemburu berpengalaman seperti Lon, yang belajar dari ayah dan pamannya. Meski beracun, gigitannya hanya seperti sengatan lebah bagi manusia, dan setelah dimasak, racunnya jadi tidak berbahaya. Di Kamboja, mereka juga dianggap punya manfaat medis: wanita yang memakannya katanya jadi lebih cantik, sementara pria dapat kekuatan super—meski ini lebih ke mitos daripada fakta ilmiah.

Cara Memasak: Sederhana, Cepat, dan Menggugah Selera

Resep fried tarantula sangat mudah, mencerminkan akarnya sebagai makanan survival. Mulai dengan membersihkan tarantula hidup: rendam dalam air untuk membersihkan isi perut (termasuk lalat setengah tercerna yang tak ingin dimakan!), lalu potong taring dan bulu beracun untuk hindari iritasi tenggorokan. Balut dengan campuran garam, gula, MSG, bawang putih bubuk, dan bumbu ayam (kadang dicampur air untuk adonan basah), lalu goreng dalam minyak panas selama 45 detik hingga kaki dan kulitnya krispi, sementara isi perut tetap lembut.

Sajikan dengan saus jeruk limau dan lada hitam segar untuk tambah kesegaran. Di restoran seperti Romdeng di Phnom Penh (yang mendukung anak jalanan), hidangan ini disajikan higienis dengan anggur putih—ideal untuk turis pemula. Dulu dibungkus daun pisang dan dibakar, kini lebih sering digoreng untuk rasa smoky yang lebih intens.

Rasa dan Tekstur: Lebih Mirip Kepiting Daripada Laba-Laba

Banyak yang bertanya: “Rasanya seperti apa?” Menurut pengulas, fried tarantula punya rasa gurih netral seperti daging kepiting, dengan tekstur krispi di kaki (mirip kerupuk) dan lembut di perut seperti karamel loli—tapi tanpa rasa manis berlebih. Kaki sulit dikunyah karena tulang rawan, jadi banyak yang melewatkannya dan fokus pada badan yang berisi protein. Bukan seperti ayam, meski janji “tastes like chicken” sering muncul! Di Reddit, pemburu makanan bilang ini “OK sebagai camilan novelty”, tapi tak untuk makan harian.

Manfaat Nutrisi: Protein Berkelanjutan untuk Masa Depan

Fried tarantula adalah sumber protein tinggi, folat, dan seng—nutrisi esensial yang menyelamatkan nyawa selama kelaparan. Dalam konteks 2025, di mana FAO mendorong serangga sebagai makanan ramah lingkungan, tarantula unggul: rendah lemak, tinggi mineral, dan lebih efisien daripada daging sapi. Satu ekor setara dengan sepotong dada ayam, tapi dengan jejak karbon minimal.

Risiko dan Tantangan: Aman, Tapi Bijaklah

Meski aman setelah dimasak (racun hilang saat digoreng), hindari makan mentah karena gigitan bisa iritasi. Risiko utama adalah alergi (mirip seafood) atau iritasi dari bulu sisa, jadi pastikan dibersihkan baik-baik. Keberlanjutan juga jadi isu: hilangnya 20% hutan Kamboja mengancam populasi liar, jadi dukung petani budidaya.

Fried tarantula bukan sekadar makanan aneh—ia adalah cerita tentang resiliensi Kamboja, dari kelaparan ke camilan ikonik yang menarik ribuan turis ke Skuon setiap tahun. Di era di mana serangga jadi tren global, hidangan ini mengajak kita tantang prasangka dan hargai keragaman kuliner. Jika Anda ke Kamboja, coba di Romdeng atau pasar Skuon—siapa tahu, rasa krispi itu akan jadi kenangan tak terlupakan. Punya pengalaman makan serangga? Bagikan di komentar! Selamat berpetualang, veNOM nom nom!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *