Pulau Ramree, Pulau Misterius dengan Sejarah Kelam dan Legenda Buaya Pembantai

relaxmody.com – Pulau Ramree, yang juga dikenal sebagai Yanbye Island dalam bahasa Burma, merupakan pulau terbesar di pantai Arakan dan seluruh Myanmar. Terletak di lepas pantai Negara Bagian Rakhine, Myanmar (dahulu Burma), pulau ini memiliki luas sekitar 1.350 km² dan dipisahkan dari daratan utama oleh selat sempit selebar rata-rata 150 meter. Meskipun kaya akan ekosistem mangrove dan menjadi pusat perdagangan gas alam, Pulau Ramree lebih terkenal karena legenda mengerikan dari Perang Dunia II yang melibatkan pembantaian tentara Jepang oleh kawanan buaya air asin. Kisah ini bahkan pernah dicatat dalam Guinness World Records sebagai bencana terbesar yang dialami manusia akibat serangan hewan, meskipun kebenarannya masih diperdebatkan hingga kini.

Sejarah dan Pertempuran Pulau Ramree

Pulau Ramree dulunya merupakan pos perdagangan Kerajaan Mrauk-U dengan desa-desa nelayan yang tersebar. Pada awal Perang Dunia II, pulau ini direbut oleh pasukan Jepang selama invasi Burma pada 1942. Namun, pada Januari-Februari 1945, Pertempuran Pulau Ramree (Battle of Ramree Island atau Operation Matador) terjadi sebagai bagian dari kampanye Burma oleh Korps XV India milik Sekutu. Tujuannya adalah merebut pulau untuk membangun lapangan udara strategis guna mendukung pasokan darat.

Pasukan Sekutu, termasuk Brigade Infanteri India ke-36 dan Marinir Kerajaan Inggris, mendarat di pantai pulau pada 14 Januari 1945. Garnisun Jepang dari Batalyon II, Resimen Infanteri ke-121 (bagian dari Divisi ke-54) melawan sengit, tetapi akhirnya terdesak. Sekitar 900-1.000 tentara Jepang mundur ke rawa-rawa mangrove yang luas, di mana hanya 20 yang selamat dan ditangkap sebagai tawanan. Kerugian Jepang diperkirakan 500 orang tewas, sementara korban Sekutu relatif ringan. Pertempuran ini berlangsung enam minggu dan menjadi salah satu episode akhir kampanye Burma.

Legenda Pembantaian oleh Buaya: Mitos atau Fakta?

Kisah paling ikonik dari Pulau Ramree adalah klaim bahwa ratusan tentara Jepang dimakan buaya air asin di rawa mangrove. Menurut legenda, pasukan Jepang yang terjebak di rawa tersebut menjadi mangsa predator ganas, dengan suara jeritan yang konon terdengar sepanjang malam. Kisah ini dipopulerkan oleh naturalis Bruce Wright dalam bukunya, yang menyebutkan hingga 900 korban—cifat yang dicatat Guinness sebagai serangan hewan paling mematikan terhadap manusia.

Namun, sejarawan dan ahli herpetologi modern meragukan skala cerita ini. Tidak ada laporan militer resmi dari pihak Inggris atau Jepang yang menyebutkan “pembantaian buaya” massal. Hanya 10-15 tentara yang diyakini menjadi korban buaya, sementara mayoritas tewas karena dehidrasi, penyakit seperti disentri, tembakan Sekutu, atau tenggelam. Penduduk lokal yang diwawancarai pada 2000-an juga menyangkal adanya serangan buaya skala besar. Buaya air asin memang mendiami rawa Ramree hingga 1960-an, tetapi populasi mereka punah akibat perburuan kulit pada akhir abad ke-20. Kisah ini lebih mungkin merupakan legenda urban yang dibesar-besarkan, meskipun beberapa tentara memang menjadi korban predator tersebut.

Geografi, Ekologi, dan Ekonomi Modern

Pulau Ramree memiliki panjang 80 km dan lebar 32 km, dengan puncak tertinggi 300 meter di bagian selatan barat. Ekosistemnya kaya mangrove, yang dulunya menjadi habitat buaya air asin, nyamuk pembawa malaria, dan kalajengking beracun—membuatnya salah satu lokasi paling berbahaya di dunia. Saat ini, pulau ini dikenal sebagai pusat pipa gas alam yang mengangkut minyak dari Timur Tengah dan gas Myanmar ke Provinsi Yunnan, China, melalui pelabuhan Kyaukpyu. Ini menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah Myanmar. Pusat penduduk utama adalah Ramree dan Kyaukpyu, yang juga merupakan ibu kota kedua Rakhine State.

Pulau Ramree adalah campuran antara sejarah perang yang tragis, legenda horor yang mencekam, dan potensi ekonomi modern. Meskipun dilarang untuk wisatawan karena bahaya alam dan konflik regional, kisahnya terus memikat sebagai pengingat akan kekejaman perang dan misteri alam. Bagi pencinta sejarah, Pulau Ramree menawarkan pelajaran bahwa fakta sering kali lebih rumit daripada mitos. Jika suatu hari akses terbuka, kunjungan harus dilakukan dengan hati-hati—walaupun buaya buasnya sudah lama hilang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *